Hari: 18 Februari 2011

Garuda Pun terhempas

TAMRIN AMAL TOMAGOLA

PIHAK yang paling terhina dan ternistakan harkat serta martabatnya dalam tiga bentrokan berdarah antarkelompok agama yang terjadi seminggu terakhir di Pandeglang, Temanggung, dan Bogor adalah negara dan bangsa Indonesia.

Negara yang punya otoritas konstitusional mutlak di ruang publik, untuk apabila perlu menggunakan kekerasan secara sah dalam menegakkan ketertiban dan keamanan, ditampar pada siang bolong oleh segerombolan perusuh. Garuda pun terempas lemas.

Kebanggaan bernegara dan berbangsa Indonesia terkotori secara semena-mena oleh lumut kejumudan picik. Dampaknya tidak hanya mempermalukan dan meresahkan publik beradab nasional, tetapi juga nurani kemanusiaan internasional.

Pengaiban publik (public humiliation) yang mempermalukan negara dan bangsa ini akan terasa makin getir jika terungkap nanti bahwa sebetulnya ada tangan-tangan aparat merekayasa, baik langsung maupun tidak langsung, tiga bentrokan beruntun untuk menyelamatkan citra pemerintah yang terus kedodoran oleh tudingan sebagai ”pembohong” oleh para tokoh agama pada minggu-minggu sebelum ketiga bentrokan berdarah itu.

Dengan terjadinya tiga kekerasan beruntun ini, arah tudingan telunjuk berbalik dari yang tadinya terarah kepada pemerintah sekarang ke arah masyarakat, khususnya kalangan umat beragama. Keadaan dibalik, bukan pemerintah yang bermasalah, tetapi atmosfer kerukunan antarumatlah yang bermasalah.

Sejumlah saksi di lapangan menuturkan kepada para aktivis LSM, setidaknya ada tiga orang yang berhenti di satu tempat di Pandeglang sesudah penyerangan kompleks Ahmadiyah. Mereka menanggalkan atribut keagamaannya untuk meneruskan perjalanan ke arah Jakarta dalam pakaian sipil. Ditambah temuan awal Tim Komnas HAM (Kompas, 11/2) bahwa ada sejumlah kejanggalan, publik sulit mengabaikan kemungkinan keterlibatan kekuatan tertentu bergabung dengan perusuh.

Inti persoalan

Mudah-mudahan dugaan sementara ini nantinya terbantahkan oleh saksi dan bukti yang lebih akurat meyakinkan pengadilan. Kalaupun kemudian sama sekali tidak terbukti tanpa keraguan secuil pun (beyond reasonable doubt) bahwa tidak satu pun anggota kekuatan strategis itu ikut, tetap saja negara—dalam hal ini pemerintahan SBY-Boediono—masih harus wajib mempertanggungjawabkan mengapa aparat negara tidak antisipatif, siaga, dan mengerahkan kemampuan maksimal untuk menghalangi dan menghalau para perusuh secara telak tanpa kompromi.

Mengapa negara cuek, tidak peduli, pada saat ruang dan hak otoritas konstitusional mutlaknya direnggut begitu saja oleh para perusuh picik jahiliah ini?

Jantung permasalahan dari rentetan bentrokan antarumat sebetulnya tak terlalu terletak pada berseberangannya pemahaman keyakinan kenabian antara Ahmadiyah dan arus utama Islam ataupun ketidakrukunan antara kelompok Muslim dan non-Muslim. Bukan di situ. Namun, justru pada kegagalan dan bahkan pembiaran negara kepada gerombolan perusuh yang tidak saja menghakimi pemahaman keyakinan kelompok/umat lain, tetapi bahkan juga mengeksekusi mati penganut Ahmadiyah dan meluluhlantakkan rumah ibadah agama lain.

Sejak 2004 hingga 2011 sudah 2.500-an gereja dirusak, mayoritas terjadi di Jawa Barat. Karena itu, permasalahan tak semata-mata absennya kerukunan antarumat beragama. Ia telah berkembang menjadi masalah pencederaan kebangsaan dan kemanusiaan.

Kepentingan keutuhan negara dan bangsalah yang sedang dipertaruhkan. Karena itu, entitas negara dan bangsa—beserta seluruh jajaran dan komponennya—harus tampil maksimal menghadapi musuh bersama: perusuh radikal-picik yang memorakporandakan ruang publik milik bersama warga.

Negara harus berhenti berkilah bahwa inti permasalahannya adalah perbedaan pemahaman agama yang sudah buntu. Tentang hal ini serahkan kepada lembaga internal setiap umat beragama. Negara tidak boleh menerabas masuk ke ranah keyakinan keagamaan dan ideologi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Demokrasi konstitusional menegaskan dan menjamin hak-hak dasar warga negara itu. Negara hanya bertindak, dan mutlak bertindak, apabila keamanan warga negara dan warga negara lain terancam ataupun ketertiban umum terganggu.

Solusi

Ada beberapa langkah dan upaya mendesak yang perlu dilakukan negara dan pemerintahan SBY-Boediono. Pertama, cabut SKB tentang pendirian rumah ibadah dan segera memulai naskah RUU tentang penanggulangan teroris umat beragama dan sekaligus perlindungan kelompok minoritas keyakinan dan agama. Ingat, indikator paling tajam dari kesuksesan suatu sistem demokrasi-konstitusional adalah apabila sistem mampu/berhasil melindungi kaum minoritas apa pun.

Kedua, bubarkan Badan Koordinasi Pemantauan Ajaran Kepercayaan/agama yang dianggap sesat. Vonis sesat hanya bisa dijatuhkan oleh Tuhan dan lembaga agama yang bukan pelat merah.

Ketiga, untuk kesekian kali diusulkan agar Kepolisian Negara RI dibangun sepenuh hati. Harus dipastikan bahwa baik jajaran kepolisian nasional maupun daerah tidak terkontaminasi kepentingan politik rezim nasional ataupun daerah.

Keempat, KPU dan KPUD mengupayakan semaksimal mungkin agar isu SARA tidak dieksploitasi demi meraup suara.

Akhirnya, segera memproses gerombolan perusuh yang tergabung dalam suatu ormas tertentu untuk segera dibekukan sebagai tahap awal menuju pembubaran lewat keputusan pengadilan, baik yang terdaftar di tingkat nasional maupun di daerah. Gerombolan perusuh yang tidak tergabung dalam ormas tertentu dan tidak terdaftar agar dinyatakan sebagai organisasi terlarang yang diharamkan di bumi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dan berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Semoga SBY-Boediono kali ini bisa tampil sebagai negarawan yang patut dihormati dan dikenang warga negara.

Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Februari 2011

Di Manakah Engkau, Negara?

JAKOB SUMARJO

Setelah reformasi, rakyat kehilangan pemerintahan yang berwibawa. Negara dan pemerintahan memang masih ada, tetapi sekaligus juga tidak ada karena tidak hadir dalam kehidupan rakyat.

Di manakah engkau negara ketika kami tidak mampu membayar saat anak kami harus dioperasi? Di manakah engkau negara ketika kami harus membangun kembali rumah kami yang lenyap oleh bencana? Di manakah engkau negara ketika rumah ibadah kami ditutup paksa?

Namun, engkau muncul dengan kekuasaanmu ketika kami harus mengurus kartu penduduk, ketika mau mengawinkan anak kami, ketika mengurus paspor, dan ketika mengurus izin usaha. Mengapa engkau tidak hadir pada waktu rakyat kecil ini membutuhkan kekuasaanmu, tetapi justru hadir untuk menyulitkan hidup kami?

Apa gunanya memiliki negara? Namun, akan ke manakah kami ini kalau tak harus di sini? Negara adalah alamat kami mengadu kalau kami diperlakukan tidak adil. Negara adalah tempat kami berlindung apabila bencana datang di luar kesalahan kami.

Sebelum reformasi, kami memiliki dua bapak yang akhirnya tidak kami sukai, tetapi keduanya berani bertanggung jawab dengan cara mereka sendiri bagaimana melindungi rakyatnya. Bahkan, kami berani untuk meminta nama bagi bayi kami. Kaum politisi mungkin tidak menyukai mereka berdua, tetapi kami, rakyat kecil ini, tahu kepada siapa kami harus mengadu, meminta restu, bahkan mencaci maki. Negara itu ada lantaran kami mengetahui alamatnya. Namun sekarang, siapakah negara ini? Kalau kami mengadu, bola dilemparkan ke mana-mana.

Kami tidak tahu bagaimana pikiran para cerdik pandai yang mengurusi kekuasaan di negeri ini. Pada waktu kedua bapak kami berkuasa, dan terasa hadir kekuasaannya, mereka dituduh otoriter. Namun, setelah demokrasi yang mereka inginkan dilaksanakan sejak 1998, gerakan-gerakan menuju otoriter yang sesungguhnya justru dibiarkan?

Reformasi kaum cerdik pandai dilancarkan berdasarkan buku-buku bangsa-bangsa yang usianya jauh lebih tua daripada negara kami. Mereka tidak membaca realitas bangsa yang baru pada 1950 benar-benar mandiri. Pemerintahan berdasarkan partai-partai politik telah berlangsung ratusan tahun di negara buku-buku itu. Kesadaran rakyat terhadap politik dan kepartaian juga sudah tinggi, kira-kira sejajar dengan kaum cerdik pandai negeri ini.

Akan tetapi, lebih dari setengah—bahkan tiga perempat—rakyat Indonesia buta politik, apalagi memahami apa faedahnya partai politik bagi kehidupan mereka. Ketika mereka harus mencontreng tanda gambar atau potret orang, mereka bingung karena hal itu tidak bermakna bagi mereka. Tentu saja mereka akan mencontreng gambar orang yang setiap hari muncul di televisi sebagai pelawak.

Sistem politik di negeri ini harus dibaca ulang, tidak mengekor bangsa lain yang punya sejarah dan konteks sosio-budayanya sendiri. Apa dan siapakah Indonesia ini pada zaman modern? Indonesia bukan Malaysia, Singapura, atau Nigeria. Mungkin malah mirip India atau China. Inikah yang membuat negara dan pemerintahan sejak reformasi ”tidak ada”? Sedangkan pada masa demokrasi otoriter malah ada?

Petruk pun jadi ratu

Apakah dari 200 juta rakyat Indonesia ini tak ada barang 2.000 atau 3.000 cerdik pandai yang benar-benar mengenali realitas Indonesia yang sebenarnya? Mereka yang kritis terhadap buku-buku teori? Jumlah itu akan cukup mengisi kursi-kursi penting pada sektor-sektor legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pertahanan?

Salah orang di tempat yang salah, itulah kondisi saat ini. Salah orang justru terjaring dalam sistem politik, sedangkan orang-orang yang tepat, the right man, justru mubazir. Masalahnya bagaimana menempatkan putra-putra terbaik itu di tempat yang tepat? Sekarang ini banyak Petruk jadi ratu. Bagaimana nasib negara apabila jatuh pada kekuasaan tokoh semacam Petruk ini? Atau Bagong dan Limbuk?

Para pendiri republik ini, yang mengenal betul kehidupan kami rakyat kecil ini, karena mereka benar-benar pernah hidup di antara kami, telah mendesain sistem pemerintahan yang khas Indonesia meski mungkin agak mirip dengan sistem sosialis di negara-negara komunis. Lembaga tertinggi negara ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berhak untuk memandatkan kekuasaan kepada presiden yang mereka pilih. Rakyat cukup sekali saja melaksanakan pemilihan umum untuk menunjuk wakil-wakil mereka di MPR itu. Seharusnya MPR inilah yang benar-benar diinginkan dan dipilih oleh rakyat.

MPR adalah lembaga keresian. Resi adalah orang-orang bijak di bidangnya dan kenyang pengalaman. Lembaga resi inilah yang memilih presiden dan berkuasa menurunkan presiden kalau kebijaksanaan pemerintahannya merugikan rakyat yang mempercayakan mandatnya kepada para anggota MPR yang resi-resi itu. MPR adalah pemegang mandat rakyat, kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan kekuasaannya itu. Para resi ini menyerahkan mandat kekuasaan kepada ratu atau presiden. Meski presiden berkuasa, dia bukan pemilik kekuasaan itu karena pemiliknya adalah MPR. Sistem ini mencegah munculnya ratu atau presiden sebagai penguasa otoriter.

Apakah Indonesia ini kekurangan resi tani, resi agama, resi adat, resi ekonomi, resi teknologi, dan ratusan resi yang lain? Mereka inilah the right man. Orang-orang benar ini tentu akan memilih tanpa pamrih orang yang tepat dan benar sebagai ratu atau presiden Indonesia. Jadi, presiden benar-benar dipilih oleh orang-orang yang melek politik, melek budaya, dan melek ekonomi. Ya, daripada dipilih dengan biaya mahal oleh kami yang buta dengan semua itu.

Jakob Sumardjo, Esais

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Februari 2011

Matinya Keindonesiaan Kita

KIKI SYAHNAKRI

Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD)

FENOMENA maraknya kembali tindak kekerasan mencuatkan pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan Republik tercinta ini? Kasus kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, yang mengakibatkan tewasnya tiga warga Ahmadiyah dan sejumlah lainnya luka-luka, serta insiden di Pengadilan Negeri Temanggung yang dilatari kasus dugaan penistaan agama—yang berujung pada pembakaran dua gereja serta sejumlah sekolah—mencerminkan rapuhnya soliditas nasional dan rentannya negeri kita terhadap konflik.

Kedua insiden tersebut memancing reaksi berbagai kalangan, antara lain yang meminta agar kaum ulama lebih serius membina umat. Ada yang menuding lemahnya penegakan hukum dan lambannya aparat sebagai soal utama.

Bahkan, beredar pula dugaan yang lebih bersifat rumor dan agak tendensius. Misalnya, bahwa ini adalah metode pengalihan isu yang dilakukan pemerintahan SBY, atau cara yang dipakai TNI untuk menggoyang SBY, atau wujud balasan terhadap para tokoh agama yang menilai pemerintah berbohong.

Memang analisis yang cenderung ”liar” ini menjadi seolah logis, mengingat banyak kasus raksasa yang belum terselesaikan, bahkan dipolitisasi. Namun, tuduhan serta rumor tersebut sulit dibuktikan. TNI pun sudah cukup jauh dalam reformasi internalnya, konsisten sebagai bayangkari NKRI, dan tidak lagi akrab dengan intrik politik sehingga mustahil melakukan hal seperti itu.

Dengan demikian, kita perlu menggali lebih dalam untuk menemukan akar masalah sesungguhnya. Jika tidak, yang terjadi hanyalah solusi eksperimental, sekadar uji coba, dan tak kunjung tuntas. Kendati para tokoh agama telah melakukan pembinaan umat dengan serius, aparat telah bertindak cerdas, tegas, dan cepat, tetapi persoalan serupa akan muncul kembali selama akar utamanya tidak dicabut.

Masalah fundamental

Hemat penulis, akar pokok problematika keindonesiaan saat ini bercabang tiga. Pertama, telah dipaksakan suatu ”transplantasi (demokrasi) liberal” di negeri ini. Dengan demikian, kita telah membunuh ”gen” keindonesiaan yang mengalir dalam darah kebangsaan kita. ”Golongan darah” kita adalah Pancasila yang mengandung ”gen” kolektivisme (ala Indonesia) berisi nilai kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi.

Sementara kita transplantasikan ”demokrasi liberal” yang golongan darahnya individualisme, terlebih disertai dengan kebebasan yang nyaris tanpa batas sehingga melunturkan jati diri bangsa dan spirit nasionalisme, menggoyahkan persatuan dan kerukunan, serta mengebiri kedaulatan negara.

Karena transplantasi yang tidak sesuai dengan ”golongan darah” sendiri tersebut, tubuh bangsa kita pun bersikap reaktif dan menjadi lemah daya tahannya, menimbulkan berbagai patologi sosial, serta problematika bangsa yang kompleks.

Dari segi politik, sistem politik yang ”ultraliberal”, menggunakan voting, pemilihan langsung, seraya membuang sistem permusyawaratan perwakilan yang sesungguhnya menjadi basis kulturalis bangsa Indonesia.

Bung Hatta menegaskan bahwa ”Prinsip demokrasi adalah keterwakilan yang mengedepankan egalitarianisme”, sementara praktik demokrasi liberal yang mengusung ”keterpilihan” dewasa ini justru ”membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu.

Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Amungme, Dani, Baduy, Anak Dalam, dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight). Keterwakilan juga merupakan perekat bagi bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Dengan tidak terwakilinya berbagai suku dan golongan di parlemen, ikatan kebangsaan pun menjadi longgar.

Seiring dengan watak liberalisme, kebebasan pun berkembang nyaris tanpa batas sehingga masyarakat bisa berbuat apa saja. Partai politik tumbuh bagaikan jamur, otonomi daerah dengan semangat pemekaran nyaris tidak terkontrol, feodalisme meningkat, dan nafsu berburu kekuasaan tumbuh subur pada semua lapisan masyarakat.

Akibatnya, rekrutmen kepemimpinan lewat pemilu atau pilkada justru hanya menghasilkan pemimpin yang umumnya karbitan, tidak berkarakter, tidak berkompetensi, serta korup. Sebaliknya, telah mewabah di kalangan para elite politik sikap machiavellian, kolusi, nepotisme, dan politik uang.

Dari optik ekonomi, implementasi pasar bebas membuat perekonomian nasional nyaris dikuasai asing, gelombang privatisasi terjadi tanpa kendali, kedaulatan ekonomi terampas oleh kaum kapitalis, industri nasional pun rontok karena kalah bersaing.

Pada ranah hukum kita menyaksikan tumpang tindihnya fungsi institusi penegak hukum, maraknya mafia dan perdagangan hukum, politisasi hukum, serta terbengkalainya beberapa kasus besar pelanggaran hukum.

Ujungnya bermuara pada aspek budaya yang mencuatkan perilaku individualisme; materialisme; hedonisme; konsumtivisme; korupsi, kolusi, nepotisme (KKN); fanatisme sempit; fundamentalisme; radikalisme serta anarkisme; bahkan terorisme.

Posisi TNI

Kedua, pemisahan diametral-absolut antara fungsi pertahanan dan keamanan. TNI diposisikan hanya mengamankan negara terhadap ancaman dari luar, sementara segala persoalan keamanan domestik diserahkan kepada Polri tanpa memperhitungkan kompleksitas persoalan keamanan nasional yang penanganannya tidak mungkin dipikul Polri sendirian, bahkan dengan dibantu TNI sekalipun, karena pada hakikatnya pembinaan dan penyelesaian masalah keamanan nasional membutuhkan penanganan terpadu.

Saat ini, kalaupun TNI dapat membantu Polri dalam konteks perbantuan, prosedurnya tidak mudah, rumit, dan memerlukan waktu. Sementara dinamika di lapangan yang eskalatif destruktif memerlukan tindakan cepat, segera, dan tuntas.

Terkait kerusuhan di Cikeusik, Presiden SBY lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto telah memerintahkan Polri mencari dan mengungkap tuntas kekerasan tersebut (Kompas, 7/2). Persoalannya, masalah ini bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga telah mengakar pada masalah budaya.

Keran kebebasan yang dibuka oleh liberalisme telah membuat latar belakang tindak kekerasan tersebut menjadi sangat variatif sehingga Polri yang secara fungsional hanya bekerja pada ranah penegakan hukum tidak mungkin dapat menuntaskan sampai ke akarnya.

Yang dapat dilakukannya hanya mencari pelaku serta dalang kekerasan dan menyeretnya ke meja hijau. Untuk itu, masyarakat pun tidak bisa hanya menuduh bahwa Polri lamban dan tidak mampu melindungi rakyat. Bahkan, suatu saat Polri pun akan kelelahan karena rentetan permasalahan serupa di masa datang.

Kepemimpinan lemah

Ketiga, lemahnya kepemimpinan. Dengan kemajemukan yang amat lebar, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat, berkarakter, tegas, dan berani. Lemahnya kepemimpinan dapat membuat buram situasi bangsa, terlebih dalam hegemoni liberalis-kapitalis yang kian mencengkeram. Sementara pada sisi lain hadir pula paham ”talibanisme serta khilafahisme” yang juga ingin menggantikan peran Pancasila.

Salah satu ciri demokrasi liberal adalah mengurangi peran negara (pemerintah) dan, sebaliknya, mengedepankan peran masyarakat yang lebih bebas, suatu hal yang bukan soal di dunia Barat yang tingkat pendidikan serta kesejahteraannya memadai. Namun, bagi masyarakat kita yang masih jauh dari sejahtera dan kematangan, kebebasan tersebut menjadi sangat eksesif.

Maka, hilangnya otoritas dan daya kendali pemerintah pada satu sisi dan meningkatnya pelanggaran hukum pada sisi lain adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, presiden beserta segenap jajaran pemerintahnya harus benar-benar bersih sehingga mampu memperlihatkan ketegasan dan sikap tanpa kompromi dalam penegakan hukum. Tidak perlu ada keraguan lagi, tak dibutuhkan pencitraan dan kecenderungan bela diri.

Situasi yang dapat mengarah pada disintegrasi di atas hanya dapat dicegah dengan cara mengambil jarak terhadap liberalisme, seraya bangsa Indonesia kembali kepada spirit Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Segala solusi lain hanya bersifat kosmetik dan analgetik, bukan terapi total untuk pemulihan keadaan dan kebangkitan bangsa.

Sumber: Kompas, Kamis, 10 Februari 2011

Kulturalisasi Radikalisme Agama

Judul : Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural

Penulis : Syaiful Arief

Penerbit: Koekoesan, Jakarta

Tahun : Cetakan I, Juli 2010

Tebal : viii + 151 halaman

HADIRNYA globalisasi menjadikan agama besitegang secara fungsional: antara pijakan nilai spiritual-moral dan kebermanfatan kehidupan publik. Radikalisme berbasis agama muncul dimulai dari kegairahan spiritual yang terimpit oleh kujumudan berpikir para penganutnya. Awalnya, agama (Islam) dikontekstualisasikan untuk mengimbangi kemajuan modernisme dalam arus globalisasi massa. Berubah ia menjadi lembaran ajaran yang anarki, ekslusif, dan radikal setelah kehilangan daya magisnya di masyarakat.

Dalam buku Deradikalisasi Islam ini, Syaiful Arief hendak melakukan penyeimbangan antropologis atas Islam radikal dengan Islam kultural. Menurut penulis, radikalisme menjadi fenomena anyar pergerakan Islam di Indonesia karena kesadaran keber-Islam-an bermula dari pemahaman keagamaan yang belum mengalami kulturalisasi. Ia menjadi orang Islam yang Indonesia, bukan orang Indonesia yang beragama Islam. Kediriannya sebagai orang Islam didahului oleh identifikasinya sebagai orang Indonesia.

Keterpisahan identifikasi diri dari budaya dan agama itulah yang menjadikan pola pembangunan hidup beragama kelompok radikal bersifat menjajah (imperialis), bahwa semua praktek keagamaan yang ada harus diluruskan melalui mekanisme normatif yang bersifat “memaksa”. Pada tahapan selanjutnya, unsur hakimiyyah (penghakiman) merupa pola dalam mekanisme kehidupan sosio-religiusnya. Tabiatnya menjadi kaku, noramatif, serbaharus dituruti, dihormati, mengusasi dan maunya mengatur.

Idealitas paham radikal Islam pun menuju pada orientasi penerapan hukum agama secara totaliter melalui mekanisme politis. Format yang terbaca, mereka menggunakan “yang politik” untuk mengatur “yang religius”. Kelompok radikal agama, yang mengimpor pemahaman Islam secara ideologis dari Timur Tengah (Arab), melakukan imperialisasi anutan paham sepihaknya kepada “yang kultural”. Padahal, Islam yang ada di Nusantara ini, telah mengalami kulturalisasi sekian lama, menjadi kesadaran yang sublim dalam benak masyarakat muslim. Tidak bisa dipisahkan.

Arief menunjukkan bukti kecongkakan pemahaman religius kelompok radikal agama ini dengan lebih dikenalnya pemikiran tokoh agama asal Arab daripada yang pribumi. Al Maududi, Hasan Al Banna, Sayyid Qutub, lebih populer daripada Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Mas Karebet, Raden Fatah, yang mereka itu masyhur luas sebagai juru agama yang berhasil mensyiarkan nilai-nilai agama gerak kehidupan kultural masyarakat.

Kegagalan paham radikal dalam menyinergikan antara agama dan budayanya, hingga akhirnya melahirkan kecongkakan ego politis yang menihilkan humanitas, adalah bentuk nyata kegagapan ideologi radikal agama dalam memahami tantangan modernitas. Arief menyebut radikalisme Islam sebagai korban modernitas. Makna modernitas yang sebenarnya amatlah menjunjung tinggi amanat kemanusiaan, termasuk pelestarian kultur dan budaya lokal. (hlm 29).

Deradikalisasi Islam harus dimulai dari latar budaya urban, karena pusat perbenturan ideologi ini ada di kota. Sistem kebudayaan rendah di desa (ini mengikuti kategori fungsional modernisme), relatif aman dari kekisruhan ego agama karena masyarakatnya memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan laku kultural agama dan budayanya. Kemenyatuan agama dengan budaya, nyata terlihat dalam spiritualitas masyarakat desa. “Yang religius” dipraktekkan tanpa paksaan dari “yang politis”.

Islam di desa telah mengalami pribumisasi karena mayoritas muslim di sana “melakoni syariat” sebagai tradisi. Konsekuensinya, tidak dibutuhkan lagi formalisasi syariat. Perwujudan kultural Islam begitu kuat dipegang oleh karena struktur tradisi itu terbangun bukan melembaga pada level institusi dan pengundang-undangan syariat, melainkan pada penguasaan pamahaman keilmuan Islam serta penerapannya.

Keseimbangan antropologis, sebagaimana tujuan penulisan buku ini, bisa diciptakan dengan menghadirkan spiritualitas pendidikan ala pesantren dan tarekat ke dalam dinamika budaya urban. Bukan berarti mendirikan pesantren dan komunitas tarekat di kota, melainkan menjejakkan nilai-nilai substansial agama dalam formalitas paham keagamaan masyarakat urban, yang rentan diselundupi ideologi radikal itu. Agar radikalisme bisa didekonstruksi untuk merekonstruksinya; dengan pembumian kultur kenusantaraan.

Radikalisme agama terjadi karena bibliografi Islam Nusantara lupa diingat sebagai cermin pertemuan yang indah antara agama dan budaya. Perwujudan kultural Islam di kota akan mendamaikan antara tradisi dan modernitas, seperti didengungkan oleh Fazlur Rahman dalam neo-modernismenya.

M. Abdullah Badri, pembaca buku, peneliti Idea Studies

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Februari 2011