Hari: 3 Februari 2011

Pemikiran Politik Islam Versus Pemikiran Islam Polititik

Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam buku ini menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.

Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ketika sejak Revolusi Prancis agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara–bahwa gereja harus terpisah dari negara—Islam masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman Nabi hingga zaman kini.

Pada zamannya, Nabi membentuk sebuah komunitas, yang diyakini bukan cuma komunitas agama, tapi juga komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum muslim , Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”.

Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir muslim , baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”.

Di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah (661-850 Masehi), pemikiran politik Islam didominasi oleh perdebatan tentang sistem pemerintah atau lebih tepatnya hubungan khalifah dan negara. Kedua dinasti Islam ini cenderung menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak memisahkan agama dan negara. Bahkan agama yang direpresentasikan oleh khalifah cenderung mensubordinasi negara atau kehidupan politik di kedua dinasti.

Tapi, sejak kira-kira 850 M, pemikiran dan praktek politik yang dominan di dunia muslim adalah yang memisahkan agama dan negara. Kekuasaan dibagi antara sultan yang mengatur urusan militer serta menegakkan hukum dan ketertiban dan ulama yang mengatur urusan sosial dan keluarga.

Sejak 1000-1200 M, para pemikir muslim, seperti Al- Mawardi , Nizam al-Mulk, Al- Gazali , Ibn Rusyd , serta Al-Razi, menawarkan pemikiran politik jalan tengah atau pemikiran politik keseimbangan. Di masa-masa tersebut, sultan dan ulama saling bekerja sama dan saling tergantung.

Namun, pada 1220-1500 M, ide penyatuan agama dan politik kembali mendominasi pemikiran para pemikir muslim . Pemikir muslim yang paling menonjol pada masa itu, yang menganjurkan pemerintahan berdasarkan syariat, adalah Ibn Taimiyah. Black sendiri dalam buku ini menyebut masa itu sebagai masa “syariat dan pedang”.

Puncak pemerintahan berdasarkan syariat berlangsung pada masa kerajaan-kerajaan modern yang meliputi Dinasti Utsmani , Dinasti Safawi , dan Dinasti Mogul. Tentu saja Dinasti Utsmani , yang berpusat di Turki, menjadi dinasti paling terkemuka. Dinasti ini disebut Khilafah Islamiyah . Namun, dinasti ini mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924.

Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh , yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir muslim ini menawarkan pemikiran modernisme . Black menyebut masa ini sebagai abad modernisme .

Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Pemikir Islam fundamentalis paling terkemuka adalah tokoh Ikhwanul Muslim, Al- Maududi , serta Sayyid Qutb . Mereka menginginkan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik.

Jika kita perhatikan materi pemikiran Islam sejak masa Nabi hingga masa kini seperti disajikan oleh Black dalam buku ini, nyaris tiada yang baru di situ. Tapi, bagaimanapun, pemetaan pemikiran Islam secara kronologis, sebagaimana yang dilakukan oleh Black, sangat membantu kita dalam memahami alur serta dinamika khazanah pemikiran politik dunia Islam. Melalui buku ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik.

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam

Pendahuluan

Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini —terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya– berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.

Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya —yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.

Era Kenabian

Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era “kenabian” atau “wahyu”. Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.

Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio ‘masyarakat Islam’ mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun ‘masyarakat Islam’ itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari’at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.

Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama’ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih ‘kedaulatan’nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase ‘pembentukan’, dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai ‘politik’. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama’ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil ‘teori-teori’.

Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, ‘pemikiran teoritis’ saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk ‘teori-teori politik’ secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.

Islam dan Politik

Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah –jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern– tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.

Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai ‘kalangan pembaru’, dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar ‘dakwah agama’ (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: “agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain”.

Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para ‘pembaru-pembaru’ itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:

  1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan ‘modernis’, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain”.
  2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: “Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya”.
  3. Dr. Schacht berkata (6): ” Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan”.
  4. Prof. R. Strothmann berkata (7): “Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau “negarawan”.
  5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): “Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam”.
  6. Sir. T. Arnold berkata (9): ” Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara”.
  7. Prof. Gibb berkata (10): “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi”.

Bukti Sejarah

Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai ‘negara’. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.

Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau ‘negara’, telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai’at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai’at ini –yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai’at ini– merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai’at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai’at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan ‘negara Islam’. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai’at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, ‘kontrak sosial’ yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.

Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini –yang telah kami sebutkan– terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti –di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya– atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.

Catatan kaki:

(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku “The Divine Right of Kings –yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar– , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: “Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni”, hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya “Concepts of State, Sovereignty and International Law”, p.2, sebagai berikut: “ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang –secara berturut-turut–terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka”.

(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam “Muhammedanism”, p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:

“Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap — seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu– bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah –hanyalah– berupa: jama’ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis”.

(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).

(4) Dalam ‘Muhammedan Law”, ch. I, p. 1.

(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.

(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333

(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.

(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67

(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.

(10) Muhammedanism, 1949, p. 3

(11) Deskripsi detail tentang kedua bai’at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai’at itu. Yaitu bahwa bai’at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai’at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu —disamping point-point yang disepakati sebelumnya– adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.

PROGRAM MATA KULIAH PEMIKIRAN PILITIK ISLAM

 

 

 

MATA KULIAH PEMIRAN POLITIK ISLAM JURUSAN ILMU POLITIK FISIP UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

 

 

 

A. Identitas

 

1. Mata kuliah              : Pemikiran Politik Islam

2. Kode Mata Kuliah  : ISP 352

3. Bobot                       : 3 SKS

4. Elemen Kompetensi:Mata Kuliah Sikap dan Perilaku dalam Berkarya

5. Program                   : S1

6. Fakultas                   : FISIP Unand

7. Jurusan                     : Ilmu Politik

8. Dosen                      : DR. Efrinaldi, M.Ag.

Sadri, S.IP.

 

B. Deskripsi Mata Kuliah

 

Pemikiran Politik Islam merupakan mata kuliah  yang signifikan bagi pengembangan wawasan keilmuan mahasiswa di bidang politik Islam. Dalam mata kuliah ini diuraikan mengenai relasi Islam dengan politik-ketatanegaraan, dari perspektif  normatif dan empirik. Dari aspek normatif akan diuraikan konsep politik menurut al-Qur’an  dan As-Sunnah. Dari aspek pendekatan empirik akan dieksplorasi berbagai ragam ide  dan varian pemikiran politik Islam dan pengalaman  kesejarahan masyarakat Muslim zaman klasik, pertengahan, modern dan kontemporer. Kajian ini dimulai dari pembentukan Negara Madinah, periode Khulafa al-Rasyidin, masa kedisnatian Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, pemikiran  politik dari tokoh-tokoh Muslim seperti Ibn Sina, Ibn Khaldun, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Al-Maududi dan lainnya serta pemikir-pemikir politik dari negara-negara Muslim kontemporer. Dalam mata kuliah ini juga akan  didiskusikan mengenai dinamika dan ragam pemikiran, aliran dan tokoh pemikiran politik Islam di Indonesia.

 

 

C. Standar Kompetensi

 

A. Kompetensi Umum

 

Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu:

  1. Memahami, menganalisis, dan menjelaskan spektrum, sejarah, aliran dan tipologi serta pemikiran politik yang pernah berkembang dan berpengaruh dalam khazanah pemikiran politik Islam.
  2. Memiliki pengetahuan dan wawasan mengenai dinamika pemikiran politik Islam era klasik, termasuk implikasinya pada era kontemporer, yang mencakup mengenai sistem dan kebijakan politik modern, pengelolaan  kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat Islam yang heterogen, serta berpartisipasi dalam perubahan dan pembangunan politik.
  3. Mengelaborasi dan menganalisis perbedaan pemikiran politik antara Islam  dan Barat dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  4. Menerapkan prinsip-prinsip politik yang etis, santun dan berkeadaban (civilized) dalam  praktek politik praktis.

 

B.  Kompetensi Khusus

 

Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu:

  1. Mengaplikasikan metode analisa pemikiran politik dalam menelaah pemikiran politik tokoh-tokoh politik serta implikasi gerakannya.
  2. Menganalisis dan melakukan pemetaan (mapping) aliran-aliran pemikiran politik beserta tipologi, substansi, dan gagasan pemikiran.
  3. Memetakan konstelasi pemikiran politik Islam di Indonesia dan implikasinya pada gagasan dan gerakan kontemporer.

 

D. Indikator Kompetensi

 

  • Mahasiswa dapat menjelaskan tentang dinamika pemikiran politik Islam serta menjabarkan perspektif umat Islam dalam memahami relasi Islam dengan politik.
  • Mahasiswa dapat memberikan informasi mengenai prinsip dan sistem berfikir Islam, legitimasi dan proses politik.
  • Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pemetaan aliran pemikiran politik dalam Islam dan spektrum pemikiran Islam modern.
  • Mahasiswa dapat melakukan identifikasi terhadap aliran pemikiran politik Islam di Indonesia.
  • Mahasiswa dapat menganalisis dan memberikan penjelasan yang obyektif mengenai fenomena kontemporer, yang berhubungan  dengan perkembangan, perubahan, dan pembangunan politik.

 

E. Materi Pokok

 

PERTEMUAN POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN
1 PROLOG:Konsep Politik Islam
  • Kontrak Studi
  • Prinsip dan Sistem Berfikir Islam
  • Pemikiran Politik dan Teori Politik
  • Metode Analisa Pemikiran Politik
  • Corak dan Karakteristik Pemikiran Politik
  • Kelembagaan dan Kekuasaan dalam Dinamika Politik Muslim: Khilafah, Imarah, dan Imamah
  • Negara, Pemerintahan, dan Gerakan dalam  Konsepsi Politik Islam
2 Pemikiran Politik Islam
  • Definisi dan Makna Pemikiran Politik Islam
  • Politik menurut Al-Qur’an dan Sunnah.
  • Spektrum Pemikiran Politik dalam Islam (Persepsi tentang Relasi Islam dengan Politik)
  • Islam Sebagai Landasan Etik (Substantivistik dalam Pemikiran Politik)
  • Prinsip-prinsip Politik Kenegaraan
3 Dasar-dasar Pemikiran Politik Islam 

 

  • Piagam Madinah (Dustur al-Madinah)
  • Corak dan Karakteristik Negara Madinah
  • Praktek Pemerintahan pada Periode Nabi Muhammad SAW
  • Tsaqifah Bani Sa’idah.
  • Tahkim Daumatul Jandal
4 Pemetaan Aliran Pemikiran  Politik Islam(Tipologi, Substansi Gagasan Pemikiran dan Tokoh)
  • Pemikiran Politik Islam Tradisionalisme
  • Pemikiran Politik Islam Revivalisme/ Fundamentalisme
  • Pemikiran Politik Islam Modernisme Klasik
  • Pemikiran Politik Islam Neo Revivalisme/Neo Fundamentalisme
  • Pemikiran Politik Islam Neo Modernisme
5 Pemikiran Politik Islam Tradisionalisme 
  • Era Khulafa’ al-Rasyidin
  • Pemikiran Politik Ahl al-Sunnah
  • Pemikiran Politik Khawarij
  • Pemikiran Politik Mu’tazilah
  • Pemikiran Politik Syi’ah
6 Pemikiran Politik Islam Revivalisme/Fundamentalisme 
  • Pemikiran Politik Ibn Sina
  • Pemikiran Politik Al-Farabi
  • Pemikiran Politik Al-Ghazali
  • Pemikiran Politik Al-Mawardi
  • Pemikiran Politik Ibn Khaldun
  • Pemikiran Politik Ibn Taimiyah
  • Pengaruh Pemikiran Islam dalam Teori Politik
7 Pemikiran Politik Islam Modernisme Klasik

 

  • Pemikiran Politik Jamaluddin al-Afghani
  • Pemikiran Politik Muhammad Abduh
  • Pemikiran Politik Ali Abdurraziq
  • Pemikiran Politik Muhammad Iqbal
8 Ujian Tengah Semester (UTS)
9 Pemikiran Politik Islam Neo Revivalisme/Neo Fundamentalisme
  • Pemikiran Politik Hasan al-Banna
  • Pemikiran Politik Sayyid Quthb
  • Pemikiran Politik Abul A’la al-Maududi
10 Pemikiran Politik Islam Neo Modernisme  
  • Pemikiran Politik Muhammad  Fazlurrahman
  • Pemikiran Politik Mohammed Arkoun
  • Pemikiran Politik Hassan Hanafi
11 Pemikiran Politik Islam di Indonesia
  • Makna Pemikiran Politik Islam di Indonesia
  • Teori Politik Islam di Indonesia
  • Sejarah dan Dialektika Pemikiran Politik Islam Indonesia
  • Islam dan Nasionalisme dalam Pergumulan Pemikiran Politik di Indonesia
  • Identifikasi Aliran (Mainstream) Pemikiran Politik Islam di Indonesia
12 

 

 

13

 

 

 

 

14

 

 

 

 

15

 

 

 

 

 

 

 

16

Dinamika Pemikiran Politik Islam Indonesia I 

 

Dinamika Pemikiran Politik Islam Indonesia II

 

 

 

Dinamika Pemikiran Politik Islam Indonesia III

 

 

 

Dinamika Pemikiran Politik Islam Indonesia IV

 

 

 

 

 

 

Ujian Akhir Semester

(UAS)

  • Paradigma Tradisionalisme Islam
  • Post-Tradisionalisme Islam
  • Islam Formalistik

 

  • Islam Substantivistik
  • Islam Modernisme

 

 

  • Liberalisme Pemikiran Politik
  • Islam Kiri
  • Islam Radikal: Fundamentalisme Islam

 

  • Dialektika Pemikiran Umat Islam dan Persentuhannya dengan Isu Demokratisasi, Pluralisme dan Civil Society
  • Reposisi NU dan Muhammadiyah dalam Reformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

F. Regulasi Perkuliahan

 

  1. Peserta kuliah merupakan mahasiswa yang terdaftar secara administrasi akademik dan mencantumkan mata kulaih ini dalam KRS.
  2. Setiap mahasiswa peserta kuliah harus memenuhi persyaratan kehadiran minimal 75 % dari total jumlah pertemuan.  Bagi peserta kuliah yang tingkat kehadirannya kurang dari jumlah yang dimaksudkan di atas, maka tidak diizinkan untuk mengikuti ujian akhir semester.
  3. Setiap ketidakhadiran dalam perkuliahan, wajib diinformasikan secara resmi dan tertulis oleh yang bersangkutan kepada pengampu mata kuliah, dengan disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum.
  4. Bagi mahasiswa yang mengulang, wajib mengikuti seluruh tahapan perkuliahan dari awal sampai akhir perkuliahan.
  5. Mahasiswa diwajibkan berpakaian rapi dan sopan selama perkuliahan sesuai dengan ketentuan akademik.

 

G. Tugas

 

  1. Tugas perkuliahan terdiri dari tugas mandiri dan tugas kelompok.
  2. Tugas mandiri merupakan tugas terstruktur yang dikerjakan oleh masing-masing pribadi peserta kuliah sesuai dengan yang ditetapkan oleh dosen pengampu mata kuliah, sedangkan tugas kelompok merupakan tugas secara berkelompok berdasarkan tematik tertentu yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah.
  3. Penyerahan tugas harus sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Tidak ada toleransi batas waktu keterlambatan dalam penyerahan tugas, kecuali karena alasan yang rasional dan disertai bukti yang sah.

 

 

H. Referensi

 

Alvin Z. Rubinstein dan Garold W.Thumm (ed.), The Challenge of Politics, Ideas and Issues. Toronto: Prentice-Hall of Canada Ltd., 1965.

Almond, Gabriel A. dan G.  Bingham Powell, Jr. Comparative Politics: A Developmental Approach. Boston: Little, Brown and Company, 1966.

Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer, Menuju Dialog Antar Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Audah, Abdul Qadir, Al-A’mal al-Kamilah, Al-Qanun wa Audha’una al-Siyasah. Kairo : Al Mukhtar al- Islamy, 1994.

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Azra, Azyumardi, Menggapai Solidaritas: Tensi antara Demokrasi, Fundamentalisme dan Humanisme. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.

________, Pergolakan Pemikiran Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Budiardjo, Miriam, Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat, 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo, M. Syafi’i  Anwar, dkk (peny.). Bandung: Mizan dan Majalah Ummat, 1998.

Dahl, Robert A., Democracy and Its Critics. New Haven dan London: Connecticut, Yale University Press, 1989.

_______, Dilemma of Pluralist Democracy. New Haven dan London: Connecticut, Yale University Press, 1982.

Efrinaldi, Teori Pembentukan Negara, Visi al-Ghazali (Merajut Etika dalam Transisi Politik dan Kekuasaan). Jakarta: Transmisi Media, 2003.

_________, Fiqh Siyasah, Dasar-dasar Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Granada Press, 2007.

_________, Rekonstruksi Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Citra Publika Press, 2007.

Enayat, Hamid, “Nationalism, Democracy, and Socialism”,  Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought. Austin-Texas: University of Texas Press, 1982.

Esposito, John L., and John O. Voll, Islam and Democracy. New York: Oxford University Press, 1996.

Flechtheim, Ossip K., Fundamentals of Political Science. New York: Ronald Press Co., 1952

Gaffar, Afan, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk. Teheran: 1317 H.

Guibernau, Montserrat, Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century. Cambridge:  Polity Press, 1996.

Hatta, Mohammad, Islam, Society, Democracy and Peace. New Delhi: Information Service Indonesia, Embassy of the Republic of Indonesia, 1955.

Hikam, Muhammad AS,  Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1999.

Husaini, S. Waqar Ahmed. Islamic Evironmental System Engineering. London : The Macmillan Press,1980

J.A., Denny, “Islam, Negara Sekuler, dan Demokrasi”,  Saripudin HA (ed.), Negara Sekuler, Sebuah Polemik. Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000.

Jindan, Khalid Ibrahim, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah,terj. Masrohin, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Kahin, George McTurnan,  Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1952.

Kamil, Sukron, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

Lewis, Bernard, The Political Languge of Islam. Chicago, 1980.

Liddle, R. William, “Langkah-langkah Baru Demokratisasi di Indonesia”, dalam Valina Singka Subekti, dkk., Memastikan Arah Baru Demokrasi. Bandung: Mizan, 2000.

Madjid, Nurcholish,  Indonesia Kita. Jakarta: Universitas Paramadina, 2004.

_______, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

_______, “Pengantar: Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi, Tantangan dan Kemungkinan,” Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

_______, “Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi”,  Mun’im A. Sirry (ed.), Islam Liberalisme Demokrasi, Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina, 2002.

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries: History, Text, and Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.

Al-Mawardi, Abu al-Hasan, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah. Beirut: 1983.

Moten, Abdul Rashid, Political Science: An Islamic Perspective, terj. Munir A. Mu’in dan Widyawati, Ilmu Politik Islam. Bandung: Pustaka, 2001.

Nasution, Adnan Buyung, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959. Utrecht: Rijksuniversiteit, 1992. Alih bahasa  Sylvia Tiwon, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta:  Pustaka Utama Grafiti, 1995.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.

________, Pembaharuan dalam Islam:  Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Al-Naqawi, Ali Muhammad, Al-Islam wa al-Qaumiyah. Teheran-Iran:  Rabithah al-Tsaqafah  wa al-‘Alaqat al-Islamiyah, 1997.

________, Islam and Nationalism, translated by Alaedin Pazargadi.  Teheran-Iran: Islamic Propagation Organization,  1984.

Noer, Deliar, Mencari Presiden. Bandung: Alqaprint, 1999.

________, Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Grafiti, 1998.

Prasetyo, Eko, dkk. (ed.), Nasionalisme, Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Putnam, Robert D., “Studi Perbandingan Elite Politik”,  dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (ed.), Perbandingan Sistem Politik, Cet. Ke-14. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997.

Rahardjo, Dawam, “Pengantar: Gerakan Keagamaan dan Penguatan Civil Society”, Asep Gunawan dan Dewi  Nurjulianti, Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil Society, Analisis Perbandingan Visi dan Misi LSM dan Ormas Berbasis Keagamaan. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan The Asia Foundation (TAF), 1999.

Rousseau, Jean Jacques, The Social Contract and Other Discourses, translated by G.D.H.Cole. Everyman’s Library, 1913.

Sartori, Giovanni, The Theory of Democracy Revisited, Part One: The Contemporary Debate. New Jersey: Chatham  House Publisher, 1987.

Silalahi, Saing, Dasar-dasar Indonesia Merdeka, Versi Para Pendiri Negara. Jakarta: Gramedia, 2001.

Simorangkir, J.C.T., dan B. Mang Reng Say,  Around and About The Indonesian Constitution of 1945. Jakarta: Djambatan, 1980.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.

Soekarno, Panca Azimat Revolusi: Nasakom, Pancasila, Manipol Usdek, Trisakti Tavip, Berdikari. Jakarta: Totalitas, 2002.

Sorensen, Georg, Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing  World. San Fransisco: Westview Press, 1993.

Suhelmi, Polemik Negara Islam, Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Teraju, 2002.

Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Surbakti, A.Ramlan, Reformasi Kekuasaan Presiden. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 1998.

Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta:  Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2001.

Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Uhlin, Anders, Indonesia and the “Third Wave of Democratization”: The Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World. London: Nordic Institute of Asian Studies, Richmond, Curzon  Press, 1997.

Wahjono, Padmo, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.