Hari: 8 Februari 2011

Negeri Yang Retak

Editorial Media Indonesia Selasa, 08 Februari 2011 00:00

KEKERASAN terhadap kaum minoritas masih saja dipamerkan. Isak tangis anak-anak dan kaum wanita tertimbun oleh sorak kemenangan para perusuh. Pemerintah gagal menjadi pelindung kaum lemah dan malahan hanya menjadi penonton ketika hak-hak kaum minoritas diobrak-abrik.

Lagi-lagi, Jemaat Ahmadiyah menjadi sasaran kekerasan. Pada Minggu (6/2) sekelompok orang menyerang Jemaat Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga anggota Jemaat Ahmadiyah tewas, lima orang luka-luka, mobil dan rumah dibakar. Situasi mencekam.

Bukan pertama kali Jemaat Ahmadiyah mengalami penganiayaan. Data Setara Institute menunjukkan tren kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat tajam. Pada 2009 terjadi 33 kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah dan pada 2010 menjadi 50 kasus.

Konstitusi negara sangat tegas menjamin berbagai hak warga negara. Amendemen Kedua UUD 1945 Bab XA di bawah judul Hak Asasi Manusia pada Pasal 28E menjamin hak setiap warga untuk beragama dan beribadat menurut agamanya, bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Tidak hanya itu. Pasal 28G pun secara jelas menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.

Pemerintah adalah lokomotif pelaksanaan setiap perintah konstitusi karena memiliki instrumen sampai ke tingkat paling bawah. Namun, meningkatnya kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah menunjukkan pemerintah telah gagal menunaikan kewajiban mereka.

Kita sungguh kecewa melihat kekerasan masih saja terjadi terhadap Ahmadiyah. Kecewa karena pemerintah tidak pernah bisa menimba pengalaman dari kejadian sebelumnya–di Bogor, Cirebon, Lombok, dan banyak tempat lain yang memakan korban jiwa dan harta.

Kita bertanya, mengapa negara begitu mudah kalah melawan sekelompok orang yang mengibarkan panji-panji agama lalu merasa mendapat mandat untuk menghancurkan kelompok lain yang tidak sepaham? Mengapa pemerintah seperti sangat toleran terhadap kekerasan yang membinasakan pluralisme?

Kita juga bertanya mengapa polisi lebih suka menjadi penonton dan membiarkan kebrutalan terjadi di depan mata? Mengapa polisi lebih terampil menyelidik dan mengusut, dan seakan tak punya sedikit pun kemahiran mencegah kebrutalan?

Pemerintah sebagai pemegang tongkat komando atas nama negara harus menggunakan berbagai cara untuk melindungi kelompok minoritas. Karena itu, sangat tidak patut jika pemerintah hanya mengimbau, prihatin, atau mengecam setiap kebrutalan setelah jatuh korban.

Tugas pemerintah adalah menjaga dan melindungi segenap warga negara, bukan menyatakan keprihatinan. Pernyataan keprihatinan dan kecaman terhadap aksi kebrutalan cukup dilakukan partai politik atau organisasi kemasyarakatan.

Kekerasan yang terus terjadi terhadap Ahmadiyah menjadi bukti bahwa Negara Kesatuan yang pluralis ini sesungguhnya mulai retak.